Jakarta, 25-9-2024 — Mahkamah Agung Republik Indonesia, sebagai lembaga tertinggi dalam sistem peradilan, sering kali menjadi sorotan publik karena keputusan-keputusan yang diambil. Namun, dalam konteks hukum berkeadilan, kita dihadapkan pada fenomena yang lebih mendalam: pertarungan antara idealisme hukum dan kenyataan yang ada, terutama ketika menyangkut prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dalam banyak putusan, para hakim, terutama hakim agung, diharapkan untuk menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan etika yang terkandung dalam Pancasila. Namun, tidak jarang muncul pertanyaan mengenai integritas dan komitmen mereka dalam menegakkan kebenaran dan keadilan. Beberapa keputusan yang dianggap tidak konsisten dengan prinsip-prinsip dasar keadilan ini memunculkan rasa kekecewaan di kalangan masyarakat.
Banyak pihak merasa bahwa kemunafikan dan kenajisan dalam praktik peradilan menjadi penghalang utama bagi terwujudnya keadilan. Penilaian ini bukanlah tanpa alasan. Dalam beberapa kasus, terlihat adanya ketidakadilan yang mencolok, di mana hukum seolah berperan sebagai alat untuk kepentingan tertentu, bukan sebagai perisai bagi yang lemah.
Dalam konteks ini, penting untuk kembali kepada nilai-nilai kasih dan persaudaraan yang diajarkan oleh banyak agama, termasuk dalam ajaran Ketuhanan YME. Kasih sayang seharusnya menjadi dasar dalam setiap keputusan hukum, mengingat betapa besar dampak dari putusan tersebut terhadap kehidupan individu dan masyarakat. Seharusnya, setiap hakim mampu melihat lebih dari sekadar teks hukum; mereka perlu meresapi makna kemanusiaan dalam setiap perkara yang ditangani.
Terkait kasus kriminalisasi terhadap dr. Tunggul P. Sihombing, MHA kita berharap agar para hakim, khususnya hakim agung, dapat bersikap lebih introspektif dan menjadikan pertimbangan moral sebagai pedoman dalam mengambil keputusan. Kesadaran akan tanggung jawab ini diharapkan dapat memandu mereka untuk tidak hanya menjawab tuntutan hukum, tetapi juga menjawab panggilan hati nurani dalam menegakkan keadilan yang hakiki.
Sebagai masyarakat, kita juga memiliki peran dalam mendorong perubahan. Dengan mengedukasi diri dan berpartisipasi aktif dalam proses hukum, kita dapat membantu menciptakan lingkungan yang lebih mendukung prinsip-prinsip keadilan. Melalui dialog dan kolaborasi, kita bisa menguatkan rasa persaudaraan dan kasih sayang yang telah lama menjadi fondasi masyarakat kita.
Semoga di masa depan, Mahkamah Agung Republik Indonesia dapat menjadi simbol harapan yang mampu menegakkan kebenaran dan keadilan tanpa terpengaruh oleh kemunafikan. Hanya dengan cara ini, kita dapat mencapai cita-cita luhur sebagai bangsa yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, di mana kasih dan persaudaraan selalu mendominasi dalam setiap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.
Laporan: Tim FJPK